T E T A N U S
I.
Nama Lain : Lock jaw
Tetanus
atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Penyakit
ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan
serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali
pusat. Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin
antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot
bergaris.
Di
negara sedang berkembang seperti Indonesia , insiden dan angka
kematian dari penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu tetanus masih
merupakan masalah kesehatan. Akhir–akhir ini dengan adanya penyebarluasan
program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian
telah menurun secara drastis.
II.
SEJARAH
Penyakit
ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus the Cappadocian
melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabad–abad penyakit ini
jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone menggambarkan transmisi
tetanus pada kelinci Percobaan.
Kitasato
(1889) pertama kali mengisolasi Clostridium Tetani. Setahun kemudian bersama
dengan von Behring melaporkan adanya anti–toksin spesifik pada serum binatang
yang telah disuntikkan dengan toksin tetanus. Pada tahun 1926, mulai
dikembangkan toksoid yang dapat merangsang pembentukan imunitas.
III.
ETIOLOGI
Kuman
tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang yang langsing
dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk gram positif dan
bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan
flagella antigen.
Kuman
tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang butat, khas
seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan dalam air mendidih
selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama
15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah
berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat merupakanflora usus normal dari
kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan
berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak.
Bentuk
vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik Kuman tetanus
tumbuh subur pads suhu 17°C dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian
pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasikan
glukosa.
Kuman
tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul
150.000 Dalton ,
larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi
stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin
karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan
menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang.
Tetanolisin
menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.
IV.
EPIDEMIOLOGI
Di
negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat jarang
dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping
sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang
termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan
karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi,
perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Penyakit
ini dapat mengenai semua umur. Di Amerika Serikat pada tahun 1915 dilaporkan
bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada umur 1:5 tahun, sesuai dengan yang
dilaporkan di Manado (1987) dan surabaya (1987) ternyata insiden tertinggi pada
anak di atas umur 5 tahun.
Perkiraan
angka kejadian umur rata–rata pertahun sangat meningkat sesuai kelompok umur,
peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun dan 20–29 tahun,
sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30–39 tahun dan umur
lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian lebih banyak dijumpa
pada anak laki–laki; dengan perbandingan 3:1.
V.
PATOGENESIS
Chlostridium
Tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi
dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini melalui luka
yang terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi: kaleng), luka bakar,
luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali
pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat.
Pandi
dkk (1965) melaporkan bahwa 70% pada telinga sebagai port d’entree, sedangkan
beberapa peneliti melaporkan bahwa porte d'entree melalui telinga hanya 6,5%.
Bila
keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai
anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati, benda–benda
asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini
tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat mudah mudah diikat oleh saraf
dan akan mencapai saraf melalui dua cara.
1.
Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction
pada ujung–ujung saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik kecornu anterior
susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer.
2.
Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke
sirkulasi darah untuk seterusnya susunan saraf pusat.
Aktivitas
tetanospamin pada motor end plate akan menghambat pelepasan asetilkolin, tetapi
tidak menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga tonus otot meningkat dan
terjadi kontraksi otot berupa spasme otot. Tetanospamin juga mempengaruhi
sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi overaktivitas
simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan
meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine.
Tetanospamin
yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh
antitoksin tetanus.
VI.
MANIFESTASI KLINIK
Masa
inkubasi tetanus umumnya antara 3–21 hari, namun dapat singkat hanya 1–2 hari
dan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Makin pendek masa inkubasi makin jelek
prognosanya. Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi Clostridium Tetani
dengan susunan saraf pusat dan interval antara luka dan permulaan penyakit,
dimana makin jauh tempat invasi maka inkubasi makin panjang.
Secara klinis tetanus ada 3 macam :
1.
Tetanus umum
2.
Tetanus lokal
3.
Tetanus cephalic.
Tetanus umum:
Bentuk
ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya bentuk
ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka bakar yang luas,
luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus dekubitus dan
suntikan hipodermis.
Biasanya
tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat menyeluruh
ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang (trismus) dan
leher (kuduk kaku). Lima
puluh persen penderita tetanus umum akan menuunjukkan trismus.
Dalam
24–48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan
otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga
penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter, pada muka
juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis
kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut
tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan
otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher
dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus.
Selain
kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara spontan
maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang
menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam
posisi ekstensi.
Kesadaran
penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang menonjol
sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot–otot laring
dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi
urine sering terjadi karena spasme sphincter kandung kemih.
Kenaikan
temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi
sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas dan
mengganggu pusat pengatur suhu.
Pada
kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi,
hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia
jantung.
Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas :
1) Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai
kejang umum walaupun dirangsang.
2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai
kejang umum bila dirangsang.
3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai
kejang umum yang spontan.
Cole dan
Youngman (1969) membagi tetanus umum atas:
Grade 1: ringan
-
Masa
inkubasi lebih dari 14 hari
-
Period of
onset > 6 hari
-
Trismus positif tetapi tidak berat
-
Sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada.
Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka
berupa spasme disekitar luka dan kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.
Grade II: sedang
-
Masa inkubasi 10–14 hari
-
Period of onset 3 had atau kurang
-
Trismus ada dan disfagia ada.
Kekakuan
umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis tidak ada.
Grade III: berat
-
Masa inkubasi < 10 hari
-
Period of onset 3 hari atau kurang
-
Trismus berat
-
Disfagia berat.
Kekakuan
umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak dan
takikardia.
Tetanus lokal
Bentuk
ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena gambaran klinis
tidak khas.
Bentuk
tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian proksimal dari tempat
luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%, kadang–kadang
bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.
Bentuk cephalic
Merupakan
salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai
daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan jarang
akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: n. III,
IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan
menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan.
Tetanus
cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosa bentuk
tetanus cephalic jelek.
VII.
DIAGNOSIS
Diagnosis
tetanus ditegakkan berdasarkan :
-
Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi
-
Gejala klinis; dan
-
Penderita
biasanya belum mendapatkan imunisasi.
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang
dalam diagnosis. Pada pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai–nilai yang
spesifik; lekosit dapat normal atau dapat meningkat.
Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil
dari luka berupa pus atau jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar
darah atau kaldu daging. Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus
ditemukan Clostridium Tetani.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam
batas normal, walaupun kadang–kadang didapatkan tekanan meningkat akibat
kontraksi otot.
Pemeriksaan elektroensefalogram adalah
normal dan pada pemeriksaan elektromiografi hasilnya tidak spesifik.
VIII.
DIAGNOSIS BANDING
1)
Meningitis bakterial
Pada
penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana adanya kelainan
cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan
glukosa menurun.
2)
Poliomielitis
Didapatkan
adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan cairan
serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi
meningkat.
3)
Rabies
Sebelumnya
ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan, kejang
bersifat klonik.
4)
Keracunan strichnine
Pada
keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5)
Tetani
Timbul
karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat dalam
serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme dan
biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus.
6)
Retropharingeal abses
Trismus
selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7)
Tonsilitis berat
Penderita
disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.
8)
Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan
berupa sindrom ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan
kekakuan otot,
9)
Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher dan
spondilitis leher.
IX.
KOMPLIKASI
1)
Pada saluran pernapasan
Oleh
karena spasme otot–otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang
menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukarnya
menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga sering terjadi aspirasi pneumoni,
atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan mediastinal emfisema
biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
2)
Pada kardiovaskuler
Komplikasi
berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardia, hiperrtensi,
vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3)
Pada tulang dan otot
Pada
otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada
tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang terus–menerus
terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat
terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.
4)
Komplikasi yang lain:
-
Laserasi lidah akibat kejang;
-
Dekubitus
karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
-
Panas
yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu
pusat pengatur suhu.
Penyebab kematian penderita tetanus akibat
komplikasi yaitu: Bronkopneumonia,
cardiac arrest, septikemia dan pneumotoraks.
X.
PROGNOSA
Dipengaruhi
oleh beberapa faktor:
1)
Masa inkubasi
Makin
panjang masa inkubasi biasanya penyakit makin ringan, sebaliknya makin pendek
masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila inkubasi kurang dari 7 hari maka tergolong berat.
2)
Umur
Makin
muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya makin jelek.
3)
Period of onset
Period
of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus sampai
terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa jelek.
4)
Panas
Pada
tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka prognosanya jelek.
5)
Pengobatan
Pengobatan
yang terlambat prognosa jelek.
6)
Ada
tidaknya komplikasi
7)
Frekuensi kejang
Semakin
sering kejang semakin jelek prognosanya.
XI.
pengoBATAN / peNATALAKSANAAN
1)
Pengobatan Umum:
-
Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan. Ruangan
perawatan harus tenang.
-
Perawatan luka dengan Rivanol, Betadin, H202.
-
Bila
perlu diberikan oksigen dan kadang–kadang diperlukan tindakan trakeostomi
untuk menghindari obstruksi jalan napas.
-
Jika
banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan saliva maka dibersihkan
dengan pengisap lendir.
-
Makanan
dan minuman melalui sonde lambung. Bahan makanan yang mudah dicerna dan cukup
mengandung protein dan kalori.
2)
Pengobatan
Khusus:
a)
Anti Tetanus toksin
Selama
infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
-
Toksin bebas dalam darah;
-
Toksin
yang bergabung dengan jaringan saraf.
Yang
dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam darah.
Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir
oleh antitoksin. Sebelum pemberian
antitoksin harus dilakukan:
-
Anamnesa apakah ada riwayat alergi;
-
Tes kulit
dan mata; dan
-
Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000.
Ini
dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat heterolog
sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.
Tes
mata
Pada
konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin tetanus 1:10
dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya ditetesi garam
faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan bengkak pada
konjungtiva.
Tes
kulit
Suntikan
0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara intrakutan.
Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi kemerahan dan
indurasi lebih dari 10 mm.
Bila tes mata dan kulit keduanya positif,
maka antitoksin diberikan secara bertahap (Besredka).
Dosis
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai
pendapat. Behrman (1987) dan Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000–100.000
u yang diberikan setengah lewat intravena dan setengahnya intramuskuler.
Pemberian lewat intravena diberikan dengan cara melarutkannya dalam 100–200 cc
glukosa 5% dan diberikan selama 1–2 jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis
20.000 u selama 2 hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis 10.000 i.m,
sekali pemberian.
b)
Antikonvulsan dan sedatif
Obat–obat
ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan jaringan saraf
terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam penanganan tetanus ialah obat yang
dapat mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa mengganggu pernapasan,
gerakan–gerakan volunter atau kesadaran.
Obat–obat
yang lazim digunakan ialah:
-
Diazepam
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali i.v. perlahan–lahan dengan dosis
optimum 10 mg/kali diulangi setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral–(sonde
lambung) dengan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali sehari diberikan 6 kali.
-
Fenobarbital
Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg intramuskuler. Dilanjutkan
dengan dosis oral 5–9 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 3
dosis.
-
Largactil
Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg.bb/hari
dibagi dalam 6 dosis.
c)
Antibiotik.
-
Penisilin Prokain
Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium Tetani.
Dosis: 50.000 u/kg.bb/hari i.m selama 10
hari atau 3 hari setelah panas turun. Dosis optimal 600.000 u/hari.
-
Tetrasiklin dan Eritromisin
Diberikan terutama bila
penderita alergi terhadap penisilin.
Tetrasiklin : 30–50
mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis.
d) Oksigen:
Bila terjadi asfiksia dan sianosis.
e)
Trakeostomi
Dilakukan pada penderita
tetanus jika terjadi:
-
Spasme berkepanjangan dari otot respirasi
-
Tidak ada kesanggupan batuk atau menelan
-
Obstruksi larings; dan
-
Koma.
f)
Hiperbarik
Diberikan oksigen murni pada tekanan 5
atmosfer.
XII.
PENCEGAHAN
1) Perawatan
luka
Terutama
pada luka tusuk, kotor atau luka yang tercemar dengan spora tetanus.
2) hnunisasi
pasif
Diberikan
antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk, yaitu:
-
ATS dari serum kuda;
-
Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH).
Dosis
yang dianjurkan belum ada keseragaman pendapat
-
1500–3000 u i.m
-
3000–5000 u i.m.
Pemberian
ini sebaiknya didahului dengan tes kulit dan mata.
Dosis TIHG: 250–500 u i.m
Kapan kita memberikan ATS/TIGH atau
Toksoid Tetanus maupun antibiotik ? Hal ini tergantung dari kekebalan seseorang
apakah orang tersebut sudah pernah mendapat imunisasi dasar dan boosternya,
berapa lama antara pemberian toksoid dengan terjadinya luka.
3) Imunisasi
aktif
Di
Indonesia dengan adanya program Pengembangan Imunisasi (PPI) selain menurunkan
angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus. Imunisasi tetanus
biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT.
-
DPT : diberikan untuk imunisasi dasar
-
DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun;
diberikan pada anak dengan riwayat demam dan kejang
-
TT: diberikan pada: –
ibu hamil
– anak usia 13 tahun keatas.
Sesuai
dengan Program Pengembangan Imunisasi, imunisasi dilakukan pada usia 2, 4 dan
6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,5–2 tahun dan usia 5 tahun.
Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara intramuskuler.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Adams, E. B.; Holloway, R.; Thambiran, A. K.; Dessy, S.
D.: Usefulness of Intermittent Positive Pressure Respirations in The Treatment
of Tetanus. Lancet 1966;1176–1180.
2.
Annonymous. Human Antitoxin for Tetanus Prophylaxis.
Lancet 1974; i 51–52.
3.
Asa, K. D.; Bertorini, T. E. Pinals, R. S. Case Report
Myositis Ossificans Circumscripta, a Complication of Tetanus. Am. J. Med.
Sciences 1986; 292: 40–43.
4.
Atrakchi, S. A. and Wilson, D. H. Epidemiology. Br.
Med. J. 1977; 1:179.
5.
Barkin, R. M.; Pichichero, M. E. Diphteria–Pertusis–Tetanus
Vaccine Teactogenicity of Cimmercial Products. Pediatricas 1979; 63:256–260.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar